Sabtu, 28 Januari 2012

Cerita Wayang - Kumbakarna Nasionalis Sejati




     Kumbakarna seperti “kesurupan (kemasukan)” mengumpat dan berceramah laksana guru besar di depan Rahwana, “nrocos” lancar tak ada hentinya. Saking emosinya, hilanglah “suba sita” dan protokloer kerajaan. Tak ada predikat Paduka, tak ada “Yang Mulia”dan tak ada “Baginda” tetapi yang terdengar kamu dan kau. Tenteu saja Rahwana menjadi naik pitam mendengar ceramah Kumbakarna. Kecuali ia adiknya, juga dipandangnya sebagai orang bodoh, tak tahu politik. Keahliannya hanya makan, minum dan tidur mendengkur belaka.

     Maka bentaknya :”Drohon diam” ! teriak Rahwana laksana “gelap ngampar”, matanya melotot, giginya kerot seperti hendak menerkam dan mencekik leher Kumbakarna.

     “Aku panggil kau dan memberimu makan, bukannya untuk berkotbah dan berteori seperti filsuf. Aku adalah saudara tuamu, aku telah memberi pangkat dan harta, itu bukanlah gaji buta. Tetapi harus ada imbalannya. Aku telah memproklamirkan negara dalam keadaan bahaya “SOB”, tahukah artinya? Artinya siapa yang membantah perintah raja berarti melawan undang undang. Hukumannya hanyalah hukuman mati. Tahukah kamu? bahwa anakmu Kumba Aswani dan Aswani Kumba juga telah gugur berbakti untuk negaranya.”

     “Kau benar-benar orang tua pengung, hanya tidur mengorok, tak tahu membalas budi. Pilihlah salah satu. Minggat dari Alengka atau membela Tanah Air. Kapan lagi kau berperang untuk negara…….. Jangan jawab, saya tidak memerlukan jawaban.”

     Setelah Kumbakarna mendengar bahwa kedua anaknya telah gugur di medan laga, maka tiba-tiba perutnya merasa muak dan dimuntahkannya segala makanan dan minuman yang telah ditelan masuk keperutnya, laksana curahan hujan. Pendapa kerajaan Alengka menjadi basah laksana tergenang banjir di bulan Januari. Muntahan Kumbakarna memenuhi pendapa Alengka sampai setinggi 70 cm , dan baunya bukan main. Daging yang belum sempat dicerna dan sari makanan yang belum sempat di serap, dimuntahkan semuanya.

     Tanpa pamit dan menghormat. Kumbakarna meninggalkan sitihinggil Alengka pergi menuju ke medan laga untuk melawan musuh yang menyerang negaranya. Ia berangkat ke medan perang bukan untuk membela perbuatan kakaknya. Tetapi ia berangkat ke medan perang dengan tekad untuk membela negara, bangsa, leluhur, keluarga dan nenek-moyangnya. Ia tetap memegang teguh sifat kesatriaannya maka ia bersemboyan “lebih baik mati dalam peperangan daripada hidup mewah di Alengka tetapi dijajah, dirusak oleh prajurit kera. Pendek kata ia bersemboyan “Right or wrong it’s my country”.

     Demikian orang Inggris berkata:

     Kumbakarna is among the best-loved of wayang figures, and the prize example of inner nobility and purity despite of bellying external appearance” (Kumbakarna adalah salah satu diantara wayang yang disenangi dan contoh yang berharga dari watak/budi mulia dan suci walaupun wujudnya jelek). Sampai-sampai ditripomo-kan (three examples);

     Kumbakarna was ordered to lead the battle fray. By his brother Dasamuka, and did not refuse. Fulfilling his duty as a satrya. Steadfast in his determination. his only thought was to serve his country. Recalling that his father and mother. And all his ancestors, had won glory and honor in Ngalengka. Which monkey armies now threatened to destroy. He vowed to die in battle (Punagi mati ngrana = lebih baik mati di dalam medan laga).

     Kumbakarna kinen mangsa jurit, maring kang raka sira tan nglenggana, nglungguhi kesatriane, ing tekad datang sujud, amung cipta labuh nagari, lah noleh jajah rena, myang leluhur ipun, mangka arsa rinusak ing bala kapi, “punagi mati ngrana”.

     Dan benar juga Kumbakarna mati sangat mengerikan dan penuh penderitaan. Tangan putus, kaki pisah dengan gembung, hidup hilang mancungnya, telinga hilang gedohnya, darah mengucur dari badannya. Ia menjerit-jerit mengaduh kesakitan, menimbulkan gara-gara. Namun walau betapapun kesaktian Kumbakarna, tak mampu melawan “Ramawijaya dan Laksmana akhirnya gugurlah Kumbakarna sebagai pahlawan kusuma bangsa.”

     Dilihat secara wadag, memang pilihannya benar, tetap sayang ia sebagai satria sejati yang mati sia-sia, karena negaranya toh akan kalah. Sedang secara rohaniah ia dipihak angkara, sehingga sukmanya (untuk beberapa lama) tidak sempurna dan mengembara tak menentu arah tujuannya.


Dikutif dari : radio-budaya.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar